Menimbang Inklusivitas Kebijakan Penyiaran Indonesia

MENIMBANG INKLUSIVITAS KEBIJAKAN PENYIARAN INDONESIA : KAJIAN TAYANGAN PANDANG-DENGAR DEBAT CALON PRESIDEN PADA PEMILIHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 2014

ABSTRAK

Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD / Convention on the Rights of Persons with Disabilities) melalui Undang-undang Republik Indonesia (RI) No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Kewajiban Pemerintah RI sebagai representasi negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia penyandang disabilitas semakin ditegaskan terutama dengan Pasal 9 Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Perspektif hak asasi manusia menegaskan bahwa kebijakan wajib bermanfaat untuk warga, wajib accessible, wajib partisipatif, dan wajib bisa dipantau-diawasi oleh warga. Sementara itu, perspektif advokasi kebijakan menjabarkan kebijakan sebagai paduan tiga unsur mencakup isi kebijakan, tata laksana kebijakan, dan budaya kebijakan. Fakta menunjukkan kebijakan penyiaran RI dalam kerangka tata kehidupan berbangsa-bernegara belum inklusif. Tayangan pandang-dengar hajatan sepenting debat calon presiden RI dalam Pemilihan Presiden RI 2014 tidak seketika accessible bagi tuli. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mewujudkan aksesibilitas tayangan pandang-dengar debat calon presiden RI dalam Pemilihan Presiden RI 2014 sesudah ada permintaan warga. Pemerintah Indonesia secara berkelanjutan dan konsisten wajib meningkatkan derajat inklusivitas kebijakan penyiaran pandang-dengar di pusat dan daerah. Perekrutan dan pendidikan sumber daya manusia yang ramah kepada pemenuhan hak asasi tuli mutlak dilakukan. Model pemenuhan hak kelompok rentan dengan perlakuan khusus (affirmative action), alokasi spesifik, maupun pengarusutamaan (mainstreaming) perlu diterapkan secara beriringan. Upaya-upaya penguatan kesadaran khalayak dengan pendidikan rakyat termasuk pendidikan warga tentang Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) menjadi langkah mendesak.

Kata kunci: kebijakan penyiaran pandang-dengar, inklusi, tuli, debat calon presiden Republik Indonesia 2014, BISINDO.

1. Pendahuluan
Pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Meski Reformasi 1998 sudah membawa kemajuan, namun upaya pemajuan hak asasi manusia masih membawa banyak pekerjaan rumah bagi para pihak di Indonesia. Aparat dan lembaga negara belum seluruhnya menghidupi perspektif hak asasi manusia dalam laku penyelenggaraan negara. Di sisi lain, para pihak di masyarakat sipil pun masih perlu dikuatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam membela hak asasi manusia. Kelompok-kelompok rentan menjadi korban pertama dan menyandang konsekuensi paling berat dari kebijakan yang belum berperspektif hak asasi manusia. Penyandang disabilitas, termasuk di dalamnya tuli, menjadi bagian kelompok rentan ini.

Dalam banyak hajatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, warga tuli belum diakui keberadaannya. Debat calon presiden dalam Pemilihan Calon Presiden Republik Indonesia (RI) 2014 menjadi satu bukti. Negara tidak secara otomatis sadar memiliki warga tuli. Siaran debat calon presiden di televisi tidak akses sejak awal. Pengakuan atas keberadaan warga tuli dengan upaya pemenuhan hak warga tuli baru muncul di penyelenggaraan debat kedua.

Tulisan ini disarikan dari proses kualitatif menghimpun informasi dan refleksi para informan atas pemenuhan hak asasi manusia tuli dalam kebijakan penyiaran pandang-dengar di Indonesia. Pengalaman yang menjadi basis adalah penyelenggaraan siaran pandang-dengar debat calon presiden dalam Pemilihan Presiden RI 2014. Informan mencakup warga tuli dan warga dengar. Informan juga mencakup warga tuli pengembang bahasa isyarat, siswa dengar di kelas bahasa isyarat, pekarya organisasi masyarakat sipil yang membela hak-hak penyandang disabilitas, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pengajar jurusan komunikasi.

Dengan perspektif hak asasi manusia serta perspektif advokasi kebijakan publik, tulisan ini menjadi wahana refleksi kerja advokasi kebijakan inklusi media pandang-dengar di Indonesia, serta membagi sumbangan umpan balik (rekomendasi) kepada para pihak terkait kerja advokasi kebijakan inklusi media pandang-dengar di Indonesia.

2. Hak tuli dalam Debat Calon Presiden RI 2014

2.1. Sekilas Debat Calon Presiden RI 2014

Pemilihan Presiden RI 2014 menjadi salah satu tonggak sejarah Indonesia. Pemilihan Presiden 2014 membawa beberapa hal baru dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Penggunaan dan peran media sosial menjadi penanda yang menonjol sepanjang penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014. Partisipasi dan penyampaian aspirasi warga di media sosial (Facebook, Twitter) mengalami kemajuan pesat. Semakin mampatnya ruang-waktu dengan keberadaan internet juga membuat warga di dalam dan luar negeri semakin mudah saling berkoordinasi. Partisipasi warga juga mencatat perubahan bermakna, ditunjukkan dengan tingginya antusiasme warga untuk terlibat dalam penyelenggaraan maupun pemantauan-pengawasan. Partisipasi generasi muda juga menunjukkan tonggak perubahan yang menggembirakan. Hadirnya kawalpemilu.org menjadi salah satu pembuktian ketiga perubahan tersebut. Ia membuktikan peran bermakna media komunikasi-informatika dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014, peningkatan partisipasi warga tidak hanya dalam penyelenggaraan namun juga dalam pemantauan-pengawasan Pemilihan Presiden 2014, serta kembalinya antusiasme generasi muda terlibat dalam kehidupan berpolitik dalam arti luas. Apatisme politik yang dipelihara oleh Orde Baru dan masih meninggalkan jejak bahkan sesudah Reformasi 1998 digerus dengan bermakna di Pemilihan Presiden 2014.

Namun, dalam semarak dan gegap-gempita Pemilihan Presiden 2014, warga tuli dilupakan oleh negara. Dalam penyelenggaraan debat calon presiden yang disiarkan oleh stasiun televisi ke seantero negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ‘sempat kecolongan’. Tidak ada akses warga tuli atas debat pertama calon presiden RI. Perubahan yang menunjukkan negara ingat dan sadar akan keberadaan warga tuli baru terjadi di debat kedua. Saat penyelenggaraan debat pertama calon presiden RI, Adhi Kusumo Bharoto (27), akrab dipanggil Adhi, salah satu guru di Sekolah Semangat Tuli (SST) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menuliskan status di linimasa Facebook. Ia menanyakan kalau-kalau ada kawan di beranda Facebooknya yang bisa menjelaskan isi tuturan para calon presiden di siaran debat. Ia mengatakan, sulit membaca gerak bibir para calon presiden yang berdebat. Menanggapi tulisan di Facebook ini, keesokan harinya penulis mengirimkan surat elektronik (surel) terbuka kepada KPU RI melalui akun surel yang ada di laman web KPU RI. Surel terbuka ditembuskan kepada redaksi media massa. Salah satu yang menayangkan berita atas surel ini adalah situs warta detik.com (http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/10/153740/2604241/1562/penuhi-hak-tuna-rungu-muncul-saran-untuk-penterjemah-bahasa-isyarat-di-debat-capres?993305 , Selasa, 10/06/2014 pukul 15:37 WIB).

Tidak ada balasan atas surel yang dikirimkan oleh penulis. Saat itu penulis mengajak Adhi untuk merancang petisi di change.org untuk mempetisi KPU RI menyediakan akses bagi tuli di debat calon presiden. Jika hingga Sabtu menjelang debat kedua tidak ada tanggapan verbal maupun tindak dari KPU RI, maka petisi akan ditayangkan. Namun ternyata di Sabtu itu Adhi mendapatkan kabar dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerkatin bahwa DPP Gerkatin diminta membantu KPU RI untuk menyediakan terjemahan bahasa isyarat di debat kedua calon presiden. Rancangan petisi batal ditayangkan di change.org.

Akhirnya, sejak debat kedua calon presiden di Pemilihan Presiden RI 2014, siaran debat di televisi dilengkapi dengan terjemahan bahasa isyarat. Selain menyediakan terjemahan bahasa isyarat, Metro TV melengkapi siaran dengan subtitle butir-butir pokok gagasan yang dibicarakan.

2.2. Perspektif hak asasi manusia dalam kebijakan publik

Sejarah mencatat, Indonesia mencanangkan komitmen atas hak asasi manusia sejak proklamasi kemerdekaannya. Komitmen ini dituangkan dalam Konstitusi, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, lebih dulu daripada dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Komitmen atas hak asasi manusia ini diperkuat dengan Amandemen UUD 1945. Dengan demikian, Indonesia juga menerima prinsip-prinsip hak asasi manusia yang mencakup (1) kesetaraan, (2) non diskriminasi, (3) inalienability (= tidak bisa diambil, diserahkan, ditransfer), (4) (menjadi) tanggung jawab (semua pemangku kepentingan), (5) ketidakterbagian, (6) universalitas, (7) kesalingtergantungan dan kesalingmemengaruhi., serta (8) (menjunjung) martabat manusia.
Sebagaimana dimaktubkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia dijabarkan dengan cakupan :

(1) Hak untuk Kesetaraan
(2) Bebas dari Diskriminasi
(3) Hak untuk Hidup, Kemerdekaan, Jaminan Keamanan pribadi
(4) Bebas dari Perbudakan
(5) Bebas dari Siksaan dan Perlakuan Merendahkan.
(6) Hak untuk diakui sebagai Insan Manusia di hadapan Hukum
(7) Hak untuk Kesetaraan di hadapan Hukum
(8) Hak atas bantuan dari Pengadilan yang Kompeten
(9) Bebas dari Penangkapan Paksa, dibuang
(10) Hak atas dengar pendapat publik yang adil
(11) Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum terbukti bersalah
(12) Bebas dari campur tangan kehidupan pribadi, keluarga, rumah dan kegiatan surat-menyurat
(13) Hak untuk bebas bergerak keluar masuk di negara mana saja
(14) Hak untuk mendapatkan suaka di negara lain
(15) Hak untuk mendapatkan Kebangsaan dan Kebebasan untuk mengubahnya
(16) Hak untuk menikah dan memiliki keluarga.
(17) Hak untuk memiliki harta benda
(18) Bebas menganut keyakinan dan agama
(19) Bebas untuk berpendapat dan atas informasi
(20) Hak untuk berserikat dan berkumpul secara damai
(21) Hak untuk berpartisipasi dalam Pemerintahan dan Pemilihan Umum yang bebas
(22) Hak untuk jaminan keamanan sosial
(23) Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan dan bergabung dengan serikat buruh
(24) Hak untuk beristirahat dan bersenang-senang
(25) Hak atas Standar Hidup yang layak
(26) Hak untuk mendapatkan Pendidikan
(27) Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan masyarakat
(28) Hak untuk hidup dalam lingkungan sosial yang menjamin hak-hak asasi manusia
(29) Kewajiban kelompok yang penting untuk pengembangan yang bebas dan utuh
(30) Bebas terhadap campur tangan negara dan pribadi terhadap hak-hak di atas

Merujuk pada Konvensi Wina (1993), negara memangku kewajiban generik atas hak asasi manusia berupa kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), serta memenuhi (to fulfill). Ditilik dari perwujudan kewajibannya, ada dua ranah yang dituntut : kewajiban atas tindakan (pemerintah melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan penikmatan hak asasi manusia), dan kewajiban atas hasil (langkah-tindakan yang diambil oleh pemerintah dan sarana serta ukuran-ukuran yang dipakai sungguh mewujudkan penikmatan hak asasi manusia).

Sebagai bagian bangsa-bangsa sejagad dan juga anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Indonesia sudah meratifikasi sebagian dokumen-dokumen instrumen hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Perjanjian Dunia tentang Hak Sipil dan Politik diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang RI No. 12 Tahun 2005. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) atau Perjanjian Dunia tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang RI No. 11 Tahun 2005. Untuk hak asasi penyandang disabilitas, Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Perjanjian Dunia tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-undang RI No. 19 Tahun 2011. Kewajiban negara atas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, termasuk tuli, ditegaskan dalam Pasal 9 CRPD. Pasal 30 CRPD menegaskan kewajiban negara atas ‘Partisipasi dalam Kegiatan Budaya, Rekreasi, Hiburan dan Olah Raga’. Sementara Pasal 21 menegaskan hak penyandang disabilitas atas informasi dan perlindungan.

PBB juga memiliki Resolusi PBB tentang Deklarasi Hak Atas Pembangunan (diadopsi dalam Resolusi Sidang Umum PBB No. 41/128 tanggal 4 Desember 1986). Dalam Deklarasi Hak Atas Pembangunan dinyatakan bahwa (1) pribadi manusia merupakan sentral dan subyek proses pembangunan dan (2) kebijakan pembangunan hendaknya menjadikan manusia sebagai partisipan dan sasaran utama pembangunan. Perspektif hak atas pembangunan membawa kewajiban bagi negara untuk menghadirkan pembangunan yang wajib bermanfaat untuk warga, wajib accessible, wajib partisipatif, dan wajib bisa dipantau-diawasi oleh warga. Dalam era dan cara pandang lama, hak warga atas pembangunan lebih banyak diminta di ranah manfaatnya saja tanpa menghitung proses serta pemantauan-pengawasan.

Sementara itu, terkait perlindungan hak dan kebebasan atas informasi, Indonesia terhitung maju dalam aspek yuridis formal. Lepas dari reduksi yang terjadi serta kelemahan yang masih melekat, hak dan kebebasan atas informasi di Indonesia dijamin dengan UU RI No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini selaras dengan dan merupakan penjabaran Pasal 28 F UUD 1945.

Ketika prinsip dan cakupan hak asasi manusia diterapkan dalam pembangunan, maka pendekatan berbasis hak asasi manusia menjadi keniscayaan. Pendekatan berbasis hak asasi manusia mencakup unsur (1) pilihan tindak-sikap yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia, (2) meningkatkan akuntabilitas (dan dengan sendirinya-seketika transparan), (3) mengubah ketergantungan menjadi pemberdayaan, (4) partisipasi, serta (5) non-diskriminasi (Equitas, 2008).

Lebih jauh lagi, pendekatan hak asasi manusia mewujud dalam paradigma pemberdayaan yang membawa watak (1) kaum rentan adalah pihak yang aktif, berdaya dan potensial, (2) si rentan paling tahu kebutuhannya, (3) partisipasi kelompok rentan diutamakan, (4) pemenuhan kebutuhan strategis seperti akses dan rekognisi/pengakuan, (5) pemenuhan kebutuhan praktis sebagai bagian dari skema jaminan sosial negara, dan (6) berbasis hak sehingga negara adalah pemangku kewajiban (duty bearer).

Perwujudan kewajiban negara atas hak asasi manusia secara konkret adalah kebijakan publik. Roem Toppatimasang menjabarkan unsur dan proses pembentukan/pengubahan kebijakan publik sbb. :

ilmiah populer widji
Gambar 1. Unsur dan proses pembentukan/pengubahan kebijakan publik menurut Roem Toppatimasang.

Perspektif hak asasi manusia juga menyumbangkan model-model pemenuhan hak asasi manusia dalam kebijakan publik. Model pertama adalah perlakuan khusus (afirmative action). Dalam model ini, kelompok rentan mendapatkan kebijakan perlakuan khusus terkait penghormatan-perlindungan-pemenuhan hak asasi manusia. Contoh klasik untuk model ini adalah kuota 30% untuk partisipasi perempuan dalam proses-lembaga politik. Perlakuan khusus diperlukan karena kelompok rentan tertinggal dalam kapasitas dibandingkan dengan kelompok lain. Model kedua adalah alokasi spesifik. Kelompok rentan mendapatkan alokasi sumber daya publik yang khusus diabdikan untuk penghormatan-perlindungan-pemenuhan hak asasi manusia kelompok rentan. Keberadaan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan contoh penerapan model alokasi spesifik. Model ketiga adalah pengarusutamaan (mainstreaming). Dalam model ini, seluruh sektor dituntut untuk menerapkan perspektif hak kelompok rentan. Kebijakan pengarusutamaan gender menjadi contoh klasik penerapan model pengarusutamaan. Pengalaman menunjukkan bahwa sebaiknya ketiga model ini tidak diterapkan satu per satu namun diterapkan secara simultan. Penerapan ketiga model secara simultan akan mempercepat peningkatan derajat penikmatan hak asasi manusia.

Tinggalkan komentar