Dari Mana, Mau Ke Mana Reformasi Indonesia?

You can fool some people sometimes,
but you can’t fool all the people all the time.
So now we see the light, what you gonna do?
We gonna stand up for our rights! Yeah, yeah, yeah!
Get Up! Stand Up! – Bob Marley (Burnin’, 1973)

Penggalan lagu Bob Marley ini selalu mengingatkan saya kepada hari-hari di sekitar hari Kamis, 21 Mei 1998. Di hari Kamis itu, jam 09.00 WIB, akhirnya Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia (RI). Bacharuddin Jusuf Habibie, saat itu Wakil Presiden RI, ditunjuk sebagai Presiden RI.

Orang-orang bersorak-sorai menyambut kejadian tersebut. Bagi sebagian orang, peristiwa tersebut menjadi puncak perjuangan bertahun-tahun. Masa pemerintahan Soeharto yang berlangsung sejak tahun 1967 hingga 1998 menjadi masa yang penuh kekerasan bersenjata. Mulai dari cara Soeharto memperoleh jabatan presiden hingga cara-cara yang dia pilih dalam mempertahankan jabatan Presiden RI.

Keadaan diperparah oleh cara instan yang diterapkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Di atas kertas, dalam kurun waktu 20 – 30 tahun Pemerintahan Soeharto Indonesia mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang sangat pesat. Dari angka sekitar 70 dollar Amerika Serikat (AS) di tahun 1960 – 1970an, pendapatan per kapita Indonesia menjadi 1.185 dollar AS di bulan Juni 1997. Namun, yang banyak orang tak tahu, pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa itu berlandaskan hutang dari luar negeri.

Puncaknya, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah saat harga bahan bakar minyak (BBM) diumumkan naik 71 %. Pengumuman kenaikan harga BBM ini muncul pada tanggal 4 Mei 1998 atau tiga minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya.

Kenaikan harga BBM itu memicu gelombang-gelombang unjuk rasa besar. Di Medan, unjuk rasa berlangsung selama 3 hari. Pada 8 Mei 1998 terjadi unjuk rasa di Yogyakarta untuk menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden.

Keadaan semakin parah karena aparat keamanan menggunakan kekerasan dalam usaha mengendalikan unjuk rasa. Di Medan tercatat 6 (enam) orang meninggal. Seorang mahasiswa meninggal dalam rangkaian unjuk rasa di Yogyakarta. Dan, tanggal 12 Mei 1998, terjadilah peristiwa yang kemudian kita kenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa meninggal terkena peluru tajam saat berunjuk rasa.

Pada saat yang bersamaan, tanggal 13 – 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan dan pembakaran di beberapa kota di Indonesia antara lain Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, dan Surabaya. Selama kerusuhan tersebut, Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) menyatakan lebih dari 1.000 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya menjadi korban perkosaan.

Krisis Ekonomi dan Hutang Swasta

Rangkaian peristiwa sepanjang Bulan Mei 1998 disebabkan oleh krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia. Jika dirunut ke belakang, krisis ekonomi tersebut terjadi karena hutang luar negeri Indonesia yang membengkak, terutama hutang oleh swasta.  Pemerintah sebenarnya sudah cukup berhati-hati dalam mengelola hutang luar negeri oleh pemerintah atau hutang publik lainnya, dan berusaha menjaga besarannya berada dalam batas-batas yang bisa ditangani.

Sayang, untuk hutang luar negeri yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Nah, setelah krisis terjadi, baru disadari bahwa hutang luar negeri oleh swasta telah menjadi masalah serius.

Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 1998, pada tahun 1992 sampai dengan Bulan Juli 1997, 85% penambahan hutang luar negeri Indonesia merupakan pinjaman oleh swasta. Hutang yang sangat besar itu umumnya berupa hutang jangka pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan.

Menjelang Desember 1997, jumlah hutang luar negeri yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun mencapai jumlah sebesar US$ 20,7 miliar (World Bank, 1998). Dan kondisi itu mendorong  terjadinya kondisi ekonomi yang tak stabil.

Sayangnya, modal masuk justru tidak dimanfaatkan maksimal di sektor-sektor yang produktif yang mendukung ekspor, misal pertanian atau industri. Sebagian besar modal masuk justru diserap untuk pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia (seperti di Thailand), ke sektor perumahan (real estate). Akibatnya, terjadi perlambatan sektor ekspor, karena depresiasi nilai tukar yang, salah satunya, dipengaruhi oleh derasnya arus modal yang masuk itu.

Crony Capitalism

Selain itu, hutang swasta saat itu banyak yang tak dilandasi kelayakan ekonomi. Koneksi politik dan anggapan bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan menjadi pertimbangan pemberian pinjaman oleh lembaga keuangan.

Koneksi politik membentuk sistem “crony capitalism”. Di dalam sistem ini, lembaga keuangan memberi pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah digelembungkan (mark up). Kejahatan di bidang ekonomi (moral hazard) dan penggelembungan aset tersebut dijelaskan oleh Paul Krugman (1998) sebagai strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”.

Hal itu mendorong efek berantai (Kelly dan Olds, 1999). Lembaga keuangan secara tak sengaja turut terlibat dalam kekacauan ini dengan meminjam dalam satuan dolar Amerika namun menyalurkan pinjaman dalam kurs lokal (Radelet dan Sachs, 1998).

Selanjutnya, kelemahan sistem perbankan Indonesia di masa pra krisis ekonomi 1998 membuat masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Saat diberlakukan liberalisasi sistem perbankan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tak mampu mengikuti kecepatan pertumbuhan sektor perbankan.

Hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan. Pelanggaran yang tak ditindak tegas antara lain peminjaman ke kelompok bisnis sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Di sisi lain, banyak sekali bank yang sesungguhnya  kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Akibatnya, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”. Sebaliknya, karena neraca yang tak sehat, mereka justru menjadi korban pertama.

Arah Politik Tak Jelas

Krisis ekonomi pemicu Reformasi 1998 juga merupakan akibat arah perubahan politik yang tak jelas. Dalam situasi demikian, isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

Banyak kelompok yang memiliki kepentingan tertentu(vested interest), dengan intrik-intrik politik yang menyebar ke mana-mana. Mereka inilah penghambat atau penghalang gerak pemerintah. Akibatnya, pemerintah tak bisa melakukan wajibnya mengambil tindakan tegas di tengah krisis (Arndt dan Hill, 1999).

Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom, persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Namun, saat krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis.

Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan terhadap pemerintah” yang lalu jadi penyebab utama segala masalah ekonomi saat itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali. Di saat yang sama, modal baru pun tidak datang.

Krisis kepercayaan kepada pemerintah di bidang ekonomi, akhirnya berimbas di bidang sosial dan politik. Pada perkembangannya, situasi sosial dan politik berbalik mempengaruhi dan memperparah dampak krisis ekonomi. Kegagalan menjaga stabilitas sosial – politik mempersulit kinerja ekonomi  untuk mencapai momentum pemulihan yang stabil dan berkelanjutan.

Sinergi: Ekonomi – Politik – Sosial dan Pemerintah – Masyarakat

Menyimak pengalaman di tahun 2015 ini, pengetatan pengawasan terhadap hutang swasta dan pembenahan sistem perbankan harus terus dilakukan. Apalagi saat ini perekonomian Indonesia kembali mengalami perlambatan karena pekerjaan rumah yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.

Pemerintah dan masyarakat tak boleh melupakan masalah, yang ada dan yang mungkin ada, di bidang politik dan sosial. Stabilitas sosial – politik adalah syarat terciptanya kepercayaan. Dan kepercayaan adalah landasan pertumbuhan perekonomian.

Masyarakat dan pemerintah harus bergandengan tangan. Masyarakat dan pemerintah harus bekerja bersama-sama, tanpa saling tunggu, saling tuding, atau bahkan saling serang.

dinaDyah Paramita Widhikirana
Station Manager
Radio SATUNAMA 855 AM
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar