Tjokroaminoto: Raja Tanpa Mahkota yang Menjadi Guru Bangsa

Guru Bangsa Tjokroaminoto 2015Judul Resensi : Tjokroaminoto: Raja Tanpa Mahkota yang Menjadi Guru Bangsa
Judul Film : Guru Bangsa Tjokroaminoto
Jenis Film : Drama, Biografi
Produser : Christine Hakim, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Didi Petet, Nayaka Untara, Ari Syar
Sutradara : Garin Nugroho
Penulis : Ari Syarif, Erik Supit
Produksi : Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto, Picklock Production
Rilis : Kamis, 9 April 2015
Durasi Film : 160 menit
Pemain :
Reza Rahadian (Tjokroaminoto)
Putri Ayudya (Suharsikin)
Christoffer Nelwan (Tjokro muda)
Christine Hakim (Mbok Tambeng)
Sujiwo Tejo (Mangoensoemo)
Maia Estianty (Ibu Mangoensoemo)
Didi Petet (Pak Haji Garut)
Chelsea Islan (Stella)
Ibnu Jamil (Agus Salim)
Tanta Ginting (Soemaun)
Deva Mahendra (Kusno/ Soekarno)
Ade Firman Hakim (Musso)
Alex Komang (Hasan Ali Surati)
Egi Fedly (Ibrahim Adji)
Alex Abbad (Abdullah)

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro) lahir di Ponogoro Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Tjokro terlahir dari keluarga bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang kuat serta dapat mengenyam pendidikan Belanda pada masa itu. Ia tumbuh menjadi anak yang cedas dan kritis. Pada suatu ketika Tjokro kecil menjumpai seorang buruh pribumi sedang disiksa oleh tentara Belanda. Darah yang terpercik pada hamparan kapas yang dilihatnya terekam kuat dalam ingatan Tjokro hingga dewasa dan menciptakan pergolakan batin di dalam dirinya.

Pergolakan batin tersebut memaksanya untuk melakukan hijrah. “Gus, sudah sampai ke mana hijrah kita?” tanya Tjokroaminoto kepada Haji Agus Salim rekan seperjuangannya dalam membesarkan organisasi Sarekat Islam (SI). Organisasi SI merupakan salah satu bentuk hijrah Tjokroaminoto. Sarekat Islam, pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), dibentuk dengan tujuan untuk meminta sedikit ruang hidup dalam perdagangan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda dan memberikan akses bagi rakyat kecil untuk berpolitik.

Semboyan “Sama Rata dan Sama Rasa” yang diungkapkan Tjokroaminoto di setiap pidatonya mampu menumbuhkan harapan rakyat akan lahirnya keadilan sehingga terdapat  kemerataan kedudukan antara kaum buruh dan petani dengan kaum priyayi serta tidak lagi menjadi budak di tanah air sendiri. Sarekat Islam berkembang cukup pesat dan mampu menciptakan pergerakan massa serta dukungan di daerah-daerah dengan jumlah anggota mencapai 2 juta orang. Kemunculan sosok Tjokroaminoto di zaman yang tidak menentu, ketika pemerintahan Hindia Belanda sedang tidak stabil dan kerap terjadi kerusuhan, membawa harapan baru akan pemerintahan yang merdeka. Tjokroaminoto digadang-gadang oleh para pengikutnya sebagai raja tanpa mahkota.

Rumah Tjokroaminoto di Gang Peneleh Surabaya merupakan tempat kos yang dikelola oleh istrinya, Suharsikin. Rumah tersebut menjadi tempat bertemunya tokoh-tokoh penting untuk berdiskusi dan telah melahirkan beragam ideologi serta gagasan. Sikap dan pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto yang kuat telah mengilhami para pemuda dan rakyat pada masa itu, terutama para pemuda yang tinggal di rumahnya. Tjokroaminoto sangat berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Haji Agus Salim, Semaoen, Musso, hingga Kusno atau lebih dikenal sebagai Soekarno.

Keterbukaan pemikiran yang dimiliki Tjokroaminoto memberikan angin segar bagi perkembangan politik di kalangan bumiputera. Bagi Tjokro, ideologi dalam bentuk apa pun saat Indonesia belum terbentuk adalah benar, yang tidak benar adalah jika disertai kekerasaan. Karena pandangan itu, berbagai paham yang sedang berkembang di negara lain pun tak luput dari pembahasan dalam diskusi-diskusi para pemuda, termasuk juga paham komunis yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia.

Perjalanan hidup HOS Tjokroaminoto diangkat ke layar lebar oleh sutradara Garin Nugroho dengan mengambil latar di era 1890-1920an. Karakter Tjokroaminoto diperankan dengan cukup baik oleh Reza Rahadian yang merupakan salah satu aktor terbaik Indonesia. Film ini cukup berbeda dari film Garin Nugroho sebelumnya, Soegija. Dalam film tersebut, karakter Soegija tidak tergambar dengan kuat dan isi cerita terkesan kurang fokus pada sosok yang menjadi judul film tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Sang sutradara berhasil mengawinkan aktor-aktor terbaik dari dunia film dan teater dengan sentuhan musikal, melankolik, puitis, simbolik, dan didukung sinematografi yang baik sehingga tokoh Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto mampu direkonstruksi ulang dalam film ini.

Film dengan durasi 160 menit ini dirasa cukup lama, namun dengan sedikit humor yang dihadirkan mampu memberikan kesegaran tersendiri bagi penonton. Diciptakannya tokoh fiktif Stella, mampu memberikan warna tersendiri dalam film ini. Stella adalah seorang gadis berdarah campuran Bali-Belanda yang berprofesi sebagai penjual koran dan pemilik toko buku. Tokoh Stella mengingatkan pada tokoh Annelies dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya menggambarkan ketidakjelasan status bagi keturunan mereka yang menikah antar bangsa pada masa itu.

Dengan melihat film yang sarat akan pesan moral ini, tanpa sadar penonton diajak untuk belajar tentang sejarah bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda. Penonton diajak lebih mengenal sosok HOS Tjokroaminoto yang merupakan tokoh penting lahirnya paham sosialisme di Indonesia, pelopor pergerakan, serta berperan dalam melahirkan tokoh-tokoh nasional. Karena peran-peran penting itu, sangatlah layak jika HOS Tjokroaminoto dinobatkan sebagai Guru Bangsa. Film Guru Bangsa Tjokroaminoto dirasa tepat untuk dihadirkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Sepak terjang Tjokroaminoto diharapkan dapat mengilhami negeri yang hampir kehilangan jati diri ini.

Sumber:
http://www.21cineplex.com/guru-bangsa-tjokroaminoto-movie,3818,05GBTO.htm
http://www.tjokromovie.com/

KikiPeresensi :
Risky Hening Dwi Astuti
Relawan Perpustakaan Loekman Soetrisno
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar