Pelajarilah Alam

Learn our Nature

[photo1]

Children that only received formal education in schools are uneducated children. The quotation from Geoge Santayana tells us that knowledge and information not as narrowly as classrooms. Paddy in rice field, farmers that sowing seeds, or cows could become teachers that teach something.

In the same way, SATUNAMA’s Mobile Library team invited 76 elementary school students from grade 4 and 5 that comes from SATUNAMA’target groups’ sites in Gunungkidul, Kulonprogo, and Sleman. They learned outdoor on March 27 and 28, 2010. This camping agenda’s theme was “Children as heir and conservationist”.

These children accompanied by several teachers, community facilitators, and children facilitators from SATUNAMA for two days. The ceremony that held in Village Learning Center, Wadas, Giri Purwo, Giri Mulyo, Kulon Progo invited children to learn and play using nature songs and friendship games. In the second day, they did outbound.

[photo2]
There were six stations where children could learn about organic farming, biogas, local food management, agro biodiversity, pond ecosystem, and river ecosystem.

In the first station, they learned about organic farming using soil, sands, and compost. Using hoe and small mattock, they started to mix all material in plastic poly-bag, watering and put that on areas that covered by sun.

In the next station, children learned about cattles that support organic farming. In this station, children observed on how a cow eats until produces manure for organic fertilizer. Isn’t that interesting?

After observing cattles, these children acted as biogas experts. They observed two cement tanks. The first tank was full with cattle manure. The second tank contained of gas result of bacterial decompostion. After 30 days decomposition, this gas would be distributed to houshold needs.

In the fifth post, children learned about a pond ecosystem. Padi, one of the children groups defined ecosystem as “Ecosystem is a living creature that lives and grows in ponds that needs each other.” The same group also wrote about seven ecosystem units with their advantages, such as fish, alga, water hyacinth, water, soil, waste biogas, stone and canvas.

After learning about a pond ecosystem, these children continued their journey. There were three stations that they hadn’t visit yet. But, they were still enthusiastic to walk even the sweat weted their bodies. Some of them enjoyed walking barefoot.

A liittle bit different with the other stations that learned about nature, in the sixth station, the children found a traditional food from Kulonprogo called gebleg. Gebleg was a healty food because it was cooked without chemical preservatives. The basic materials were from cassava that mix with garlic, salt, and oil. It was tastefull and a little bit sodden, but enough to fill the hungry belly.
After eating gebleg, they went to the bio diversity station that placed near cacao garden. In this place, they learned about bio diversity that need to be protected and developed, where cacao was one of them. They also learned about cacao trees and the fruits. In their worksheets, there were several questions such as “What is cacao?” Five from seven groups answered that cacao was a material that used as milk mix, to make cakes, to be sold, to be eaten, to be sent to fabric, and as food ingredients. Those were not perceft answers, but they could show that one commodity could produce several products.
Satisfied with answers and questions about cocholate, the children went to the last station: a river that located behind Wadas Hill. The river that had brown water was a good ecosystem to be observed. They observed that river was clean and heathy to fullfill the daily need of the community.
The children looked so happy. Some of them were swimming or playing on the water. For several children, river was a fun place. They enjoyed playing in the water and wanted to linger their time there.
Finally, they finished visiting all of the stations. They were back to their tends for bathing. Some of them wanted to stay in wadas. Before closing the ceremony, Frans Tugimin, SATUNAMA director, was asking: “Still want to be here?”
“Yeesss..,” the children answered like a choir.
“What about making another camping?” continued Frans Tugimin.
“When?” asked the children in full of enthusiasmPelajarilah Alam

[foto1]

Anak-anak yang hanya mendapat pendidikan di sekolah adalah anak-anak yang tidak terdidik. Kata-kata George Santayana itu seakan ingin mengabarkan bahwa pengetahuan dan informasi tidak sesempit ruang kelas. Padi yang tumbuh di sawah, petani yang menyemai bibit, atau sapi-sapi yang merumput bisa juga menjadi guru yang mengajarkan sesuatu.

Seakan segendang sepenarian, tim Mobile Library (Moblib) SATUNAMA mengajak 76 murid kelas 4 dan 5 SD yang berasal dari desa-desa dampingan SATUNAMA di Gunung Kidul, Kulon Progo dan Sleman untuk bersama-sama belajar secara langsung di alam terbuka pada tanggal 27 dan 28 Maret 2010. Acaranya sederhana: berkemah. Temanya: Anak Sebagai Pewaris dan Pelestari Bumi.

Selama dua hari sejak Sabtu siang anak-anak itu terus bersama hingga Minggu sore. Mereka ditemani oleh beberapa guru, pendamping komunitas, dan pendamping anak dari SATUNAMA. Acara yang diadakan di Village Learning Center, Wadas, Giri Purwo, Giri Mulyo, Kulon Progo, ini mencoba mengajak anak-anak untuk belajar mengenal, mencintai dan merawat alam melalui cara-cara sederhana. Pada hari pertama, peserta belajar sambil bermain dengan bernyanyi lagu-lagu tentang alam dan permainan persahabatan. Sedangkan pada hari kedua, mereka melakukan outbond.

Ada enam pos yang disiapkan. Berturut-turut pos pertama hingga ke enam mengajarkan mengenai pertanian organik, pengenalan teknologi biogas, pengelolaan pangan lokal, keanekaragaman tanaman hayati, pengenalan ekosistem alam kolam buatan dan ekosistem sungai.

Pada pos pertama mereka belajar mengenali pertanian organik menggunakan media tanah, pasir dan kompos. Berbekal cethok dan cangkul mereka mulai mencampur semua bahan di dalam plastik polybag yang bagian bawahnya dilubangi, menyirami dengan air kemudian meletakkannya di tempat yang terkena sinar matahari.

Kemudian pos berikutnya mengajak anak-anak mengenali ternak yang mendukung pertanian organik. Di dalam pos ini, anak-anak mulai mengamati proses yang harus dilalui oleh sapi sejak makan hingga mengeluarkan kotoran dan pengunaannya sebagai pupuk organik yang menyuburkan tanah. Menarik ya??

[foto2]

Setelah mengamati ternak, anak-anak mencoba bergaya seakan-akan sebagai ahli biogas. Mereka diminta mengamati dua tangki semen. Tangki pertama berisi kotoran ternak. Tangki kedua berisi gas hasil penguraian bakteri pembusuk di tangki pertama. Setelah proses penguraian selama 30 hari gas ini disalurkan untuk keperluan rumah tangga.

Di pos lima, anak-anak belajar mengenai ekosistem kolam buatan. Kelompok PADI memiliki arti sendiri tentang ekosistem. “Ekosistem adalah makluk hidup dan cara hidup, hidup dan berkembang di kolam buatan untuk sebuah rangkaian yang saling membutuhkan.” Sebuah pendapat unik dari anak-anak yang menggambarkan pemahaman mereka tentang ekosistem. Kelompok yang sama juga menuliskan tujuh unsur ekosistem beserta manfaatnya, antara lain: ikan, lumut, enceng gondok, air, tanah, limbah biogas, batu dan terpal.

Setelah selesai belajar mengenai ekosistem kolam buatan, anak-anak melanjutkan perjalanan lagi. Masih tiga pos tersisa. Namun, mereka tetap bersemangat meskipun peluh membasahi tubuh. Bahkan beberapa diantaranya berjalan tanpa alas kaki.
Sedikit berbeda dengan pos sebelumnya yang mempelajari alam. Di pos enam ini anak-anak akan diperkenalkan makanan tradisional khas Kulon Progo yang disebut gebleg. Geblek merupakan makanan tradisional yang sehat, bergizi karena tidak menggunakan vitsin dan bahan pengawet kimia. Bahan dasarnya berupa singkong yang dicampur dengan bawang putih, garam dan minyak. Rasanya gurih, sedikit keras tapi cukuplah untuk mengganjal perut yang lapar.
Setelah selesai menikmati gebleg, anak-anak menuju ke pos keanekaragaman hayati yang terletak di sekitar kebun coklat. Di sini, anak-anak bahwa mengenai kekayaan yang luar biasa berupa keanekaragaman hayati yang perlu kita kembangkan dan lindungi, tanaman coklat merupakan salah satunya. Ini bukan permen coklat atu coklat panas loh. Disini anak-anak akan ditunjukkan mengenai biji coklat atau kakao dan pohonnya. Pada salah satu halaman lembar kerja ada pertanyaan: apa itu kakao. Salah satu kelompok menjawab kakao adalah bahan makanan untuk campuran susu. Kemudian, dibawahnya terdapat tabel yang isian mengenai manfaat buah coklat. Dari tujuh kelompok hanya dua kelompok yang mengosongi. Sisanya mengisi. Mereka menjawab bahwa coklat berguna untuk campuran roti, dijual, dimakan langsung, dikirim ke pabrik dan bahan baku makanan.
Bukan jawaban yang muluk-muluk memang. Namun, mereka mampu menunjukkan pemahaman bahwa satu komoditas saja bisa menghasilkan bermacam-macam produk. Jika saja menteri pertanian mengikuti kemah alam anak mungkin akan menerbitkan inspirasi untuk menjadikan coklat sebagai sumber peghidupan bagi tukang roti, tukang susu atau sopir angkutan yang membawa biji-biji coklat ke pabriknya.
Setelah puas bertanya dan belajar tentang coklat, anak-anak dibawa ke pos terakhir: sebuah sungai yang membentang di bagian belakang Bukit Wadas. Sungai dengan air coklat dan batuan cadas ini merupakan ekosistem yang wajib untuk diamati. Pengamatan ekosistem sungai ini dilakukan untuk mengetahui apakah sungai tersebut masih bersih dan sehat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari oleh warga sekitar.
Anak-anak tampak begitu senang. Ada yang berenang, berendam atau saling menyiram air. Bagi sebagian anak, sungai adalah sesuatu yang “wah”. Hal ini terbukti ketika para pendamping dari SATUNAMA mengajak mereka untuk naik. “Nanti dulu saja. Masih kepengen disini,” kata salah satu diantaranya.

Akhirnya, semua rangkaian pos itu selesai. Anak-anak kemudian kembali ke tenda untuk mandi dan berkemas. Banyak diantara mereka yang masih ingin tetap tinggal di Wadas dan enggan beranjak. Pada akhir acara sebelum berdoa, Direktur SATUNAMA, Frans Tugimin menutup acara dengan bertanya:

“Masih ingin disini?” kata Pak Frans.

“Masih……..,” jawab anak-anak seperti paduan suara.

“Kalau begitu kita kemah lagi ya?” balas Pak Frans

“Kapan….” tanya seorang anak diantara kerumunan dengan antusias.

Tinggalkan komentar