Kartini: Gadis Modern Pejuang Kaum Perempuan

kartini coverJudul Buku : Emansipasi: Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904
Penulis : R.A. Kartini
Penerjemah : Sulastin Sutrisno
Penerbit Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan I ,2014
xxviii + 580 hlm; 15 x 23
ISBN : 978-602-8252-96-6
Genre : Biografi

“Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang ‘gadis modern’, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan, gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia. Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru.” – Sepenggal surat R.A. Kartini kepada salah seorang temannya berkebangsaan Belanda.

Adalah seorang Kartini, wanita muda yang hidup di dalam lingkungan bangsawan Jawa yang sangat kental akan tradisinya. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara dan mengenyam pendidikan hingga usia 12 tahun. Tradisi pingitan bagi anak perempuan kala itu, memaksa Kartini untuk menghabiskan waktu remajanya di balik tembok rumah dengan membenamkan diri ke dalam buku-buku. Kartini adalah seorang yang cerdas, pendidikan dan pergaulan yang ia peroleh dari bangku sekolah membuatnya menguasai Bahasa Belanda. Pengetahuan yang ia peroleh semakin mengasah pemikirannya. Ia menjelma menjadi seorang ‘gadis modern’ pada masanya.

Pemikiran-pemikirannya yang terus bergerak liar, memaksa Kartini untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya terutama orang Belanda. Kumpulan surat Kartini tersebut  diterbitkan dalam sebuah buku berbahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht oleh Mr.J.H. Abendanon (salah seorang sahabat Kartini) pada tahun 1911 dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam surat-suratnya Kartini mengungkapkan pergolakan batin dan kegelisahan yang dialaminya akan kedaan kaum perempuan pada masanya. Menginjak usia 20 tahun, hati Kartini semakin bergejolak. Ia memprotes segala ketidakadilan yang dialaminya sebagai seorang perempuan. Kartini mendambakan pendidikan setinggi-tingginya seperti yang diperoleh wanita Eropa ataupun laki-laki sebangsanya. Kaum perempuan bangsanya, yang saat ini kita sebut sebagai Indonesia, tidak diperkenankan untuk mengenyam pendidikan. Kartini termasuk salah seorang yang beruntung dimana status bangsawan yang tersemat pada dirinya memungkinkan ia mendapat pendidikan meskipun hanya tamat Sekolah Dasar. Ketidakadilan yang dirasakan dan kepedulian terhadap kaumnya membuat hati Kartini gelisah. Ia ingin berbuat sesuatu tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk bangsanya, perempuan.

Adat, agama serta peraturan yang berlaku pada masa itu menempatkan perempuan dalam kaum yang lemah. Berbagai batasan telah memenjarakan para perempuan seperti tidak boleh mengenyam pendidikan, keluar dari rumah ketika sudah menginjak usia remaja hingga memilih jalan hidupnya sendiri. Sangat berbeda dengan laki-laki yang memiliki porsi peranan sangat luas dalam kehidupan sosial. Laki-laki bebas mengenyam pendidikan, berpoligami, mengambil keputusan, dan pergi kemanapun. Keadaan yang dirasa tidak adil itulah yang membuat Kartini mendambakan kebebasan. Kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri dan memperoleh hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Sikap kritis Kartini terhadap peraturan, adat, kondisi sosial, serta pendidikan ia ungkapkan pada para sahabatnya. Dengan mereka Kartini mendapatkan kebebasan untuk mengungkapakan segala pergolakan batin yang dialaminya. Keinginannya untuk berjuang demi bangsanya Bumiputra yang masih terbelenggu oleh adat, agama, dan peraturan yang berlaku di kala itu. Di usianya yang masih muda, Kartini sudah bercita-cita untuk mengubah dan memajukan bangsanya terlebih kaum perempuan dengan pendidikan.

“Ternyata dari masa ke masa kemajuan perempuan itu merupakan faktor penting dalam usaha memajukan bangsa”

“Kecerdasan pikiran penduduk Bumiputra tidak akan maju secara pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu”

“Perempuan, sebagai pendukung peradaban!”

Dari perempuanlah putra-putri bangsa ini dilahirkan, belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Sehingga diperlukan perempuan yang berpendidikan untuk mendidik anak-anaknya. Hal tersebut yang coba ditanamkan oleh Kartini. Ia mendambakan kebebasan, kemerdekaan dan berdiri sendiri bagi kaum perempuan sebagai makna dari emansipasi.

Emansipasi bagi Kartini bukanlah kebebasan yang terlepas dari norma serta adat seutuhnya. Bukanlah kebebasan yang dimaknai seperti saat ini, bebas berarti tanpa aturan. Kebebasan menurut Kartini adalah kebebasan dalam memilih, mengenyam pendidikan dan terlepas dari jeratan dominasi laki-laki sehingga peran perempuan dalam kehidupan serta kemajuan bangsa dapat terwujud.

Sosok Kartini dapat tergambar dengan jelas dalam buku ini. Informasi tambahan berupa foto, pikiran Kartini yang dikutip dari surat-surat yang tidak diumumkan, dan lampiran-lampiran pendukung melengkapi peristiwa yang tertulis di dalam surat-suratnya. Penyusunan surat dibuat sistematis berdasarkan tanggalnya sehingga pembaca lebih mudah mengikuti alur peristiwa yang terjadi. Bahasa yang digunakan Kartini dalam surat-suratnya sungguh tepat. Surat-suratnya mampu menggambarkan perjuangan dan membakar semangat para pembaca untuk ikut ambil bagian dalam perjuangannya. Namun demikian pembaca diberi keleluasaan untuk menilai sosok Kartini yang hanya berdasarkan dari isi surat yang ditulis Kartini seorang. Sehingga dengan adanya kata pengantar “Kartini, Manusia Hibrid” yang ditulis oleh Katrin Bandel, sangat membantu kita untuk mengungkapkan lebih jauh identitas seorang Kartini.

Surat-surat Kartini kepada bangsanya yang ditulis secara jujur dalam buku ini memperbaharui kembali ingatan kita akan perjuangan R.A. Kartini dalam mewujudkan emansipasi bagi kaum perempuan. Emansipasi pada zaman sekarang dimaknai dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, khususnya antara wanita dan pria. Kartini telah berhasil mendobrak tradisi pada masa itu dimana kaum perempuan dianggap lebih lemah dari laki-laki. Berkat perannya, kaum perempuan saat ini memperoleh kesetaraan hak dengan laki-laki dan boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya serta menyuarakan aspirasi mereka.

Buku ini juga menjadi refleksi pribadi bagi kaum perempuan saat ini, bahwa seorang perempuan mampu membuat suatu perubahan yang positif bagi lingkungannya bahkan bangsanya. Jalan perubahan telah dirintis oleh R.A. Kartini melalui sikap kritisnya dan kini saatnya ‘perempuan modern’ pada masa kini yang melanjutkan perjuangannya dengan berperan aktif untuk membangun Indonesia.

Peresensi : Risky Hening
Relawan Perpustakaan Loekman Sutrisno
Yayasan SATUNAMA

Tinggalkan komentar