Kenangan di Keningar dan Langkah Awal Menuju Desa Layak Anak

Kedatangan dan kegiatan para mahasiswa Universitas Melbourne, Australia selama berada di Yogyakarta cukup memberikan pengalaman dan kenangan tersendiri bagi para penerjemah yang menemani mereka. Salah satunya adalah Dominicus Suseno. Berikut adalah goresan kesan dan pengalamannya selama menjalani peran sebagai penerjemah bagi para mahasiswa Australia tersebut.

Tidak terasa, 18 hari  telah berlalu dalam kegiatan para mahasiswa Universitas Melbourne Australia di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Selama waktu itu pula, empat mahasiswa Universitas Melbourne Australia yaitu Sam Crofts, Tim White, Karina Pennell, dan Tara Bawley telah tinggal dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan masyarakat di Desa Keningar.

Tulisan ini merupakan cuplikan pengalaman saya sebagai penerjemah ketika tinggal bersama para mahasiswa Australia tersebut dan juga masyarakat Keningar, bersama-sama mempelajari nilai-nilai kehidupan yang ada di desa.

Awal perkenalan dan cerita di desa

“Halo, perkenalkan, nama saya Dominicus Suseno, panggil saya Domi. Selama 4 minggu ke depan, saya akan menjadi penerjemah anda, dan yang terpenting, teman anda.”

Begitulah kata-kata saya saat memperkenalkan diri dengan para mahasiswa Universitas Melbourne, Australia pertengahan Januari 2015 lalu. Inilah awal pertemuan dan perkenalan saya dengan mereka sekaligus menjadi pengalaman pertama saya menjadi penerjemah dan juga berkenalan dengan SATUNAMA.

Saya belajar di jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada angkatan 2010. Aktivitas sebagai penerjemah semacam ini memang tidak dipelajari secara spesifik di kurikulum kuliah saya, karena kuliah saya lebih condong kepada perilaku negara. Sebagai sebuah jeda kuliah, kesempatan ini adalah kesempatan untuk belajar. Pengalaman ini seperti kuliah lapangan dengan kelas terbuka.

Pada awal pertemuan, semuanya terasa kaku. Saya merasa canggung untuk berkenalan dengan mereka. Baru setelah berbincang membahas beberapa hal, kebekuan itu mulai mencair. Sesi orientasi dengan berbagai permainan yang interaktif yang berlangsung selama beberapa hari sebelum terjun ke desa cukup membantu untuk semakin bisa memandang kawan-kawan dari Universtas Melbourne tidak sebagai orang lain, namun sebagai teman. Setelah itu, saya pun semakin bisa mendekatkan diri dengan mereka, khususnya yang berada dalam kelompok saya.

Keningar3
Membaca bersama di perpustakaan [Foto: Dominicus Suseno]
Kegiatan tinggal dan bekerja bersama masyarakat Desa Keningar berlangsung dari tanggal 21 Januari – 14 Februari 2015, dengan disisipi kesempatan libur pada hari Senin dan Selasa tiap minggunya. Pada awal kedatangan, kami disambut dengan ritual kebudayaan. Kami diarak menuju sebuah rumah dengan diiringi kesenian gamelan yang dimainkan oleh anak-anak.

Setelah itu, diadakan satu acara gudhangan dan juga macapatan  yang dihadiri warga masyarakat. Kelucuan mulai mencair saat teman-teman Australia memperkenalkan diri kepada warga. Sam memperkenalkan dirinya sebagai “Slamet” dan Tim sebagai “Bejo”. Baru saya sadari bahwa tindakan kecil ini ternyata mereka lakukan untuk mendekatkan jarak antara kami dan masyarakat, khususnya anak-anak karena fokus kerja kami selama di desa memang terletak pada seluk-beluk Hak Anak.

Setelah penyambutan selesai, kami mulai berkonsultasi dengan berbagai pihak, mulai dari ketua BPD yang juga aktivis sosial di sana, Mas Giyono, Bu Titik, Mas Sumadi, Kepala Desa dan Kepala sekolah SD Keningar untuk menawarkan ide dan masukan bagi kegiatan yang akan kami laksanakan selama tinggal di Keningar.

Dari berbagai umpan balik yang kami peroleh, kami memfokuskan diri pada hak pendidikan; khususnya pada aktivitas membaca dan kegiatan kreativitas lainnya. Kami bersyukur ada Mas Sumadi, salah satu warga yang berinisiatif membuat perpustakaan lokal. Kami memfokuskan kegiatan di sana agar pemerintah desa dapat mendukung kegiatan perpustakaan yang sebelumnya ada beberapa yang pesimis tentang keberlangsungan perpustakaan lokal ini.

Kegiatan di perpustakaan lokal dilaksanakan di hari Kamis hingga Sabtu. Jadwalnya tetap, dari jam 16.00 hingga 18.00. Mulanya, anak-anak agak canggung dengan kami, apalagi dengan adanya kendala bahasa. Namun seiring berjalannya waktu, kombinasi dari keramahan teman-teman Australia membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan semakin menarik di perpustakaan dan sikap antusias dari anak-anak sendiri pun meningkat, hingga akhirnya berkumpul di perpustakaan menjadi  hal yang dinantikan setiap sore.

Selain kegiatan membaca,  kami membagikan ilmu mengenai kebersihan gigi, memanfaatkan botol plastik sebagai pot, bermain permainan tradisional dan menggambar dalam kegiatan perpustakaan yang rata-rata dihadiri 30 anak.

Selain di perpustakaan, kami juga mengisi pelajaran bahasa Inggris di SD Keningar 1 dan juga berlatih tari tradisional bersama anak-anak. Khusus yang kedua ini, kami belajar banyak dari Pak Warto dan juga anak-anak . Rupanya, kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun lalu dan anak-anak sangat mahir. Tak lupa pula kami mencoba membantu keluarga asuh  kami dalam menjalankan pekerjaannya, seperti membajak sawah dan memetik cabai di sawah.

Mengenal diri sendiri lebih baik

Keningar team
Tim Desa Keningar. Ki-ka : Dominicus Suseno, Tara Bewley, Tim White, Mbak Nining, Sam Crofts dan Karina Pennell [Foto: Dominicus Suseno]
Tanpa terasa, tiga minggu kegiatan para mahasiswa di Desa Keningar pun usai. Banyak kenangan indah yang terukir dalam hati kami. Memang masih panjang perjalanan bagi Desa Keningar untuk menjadi Desa Layak Anak. Kami sadar masih banyak hal yang butuh ditingkatkan atau diperbaiki. Hanya saja, saya yakin teman-teman mahasiswa sudah menanam bibit-bibit yang baik dalam benak anak-anak di Desa Keningar. Kami juga bersyukur karena ada komitmen dari pemerintah desa untuk melanjutkan program perpustakaan lokal tersebut. Siapa tahu, dari perpustakaan dapat muncul dorongan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik yang lain.

Bagi saya sendiri, menjadi penerjemah adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Saya menjadi salah satu corong komunikasi utama baik bagi masyarakat yang ingin berkomunikasi dengan teman-teman mahasiswa dan juga sebaliknya.

Banyak hal yang kadang juga menggelikan. Bagaimana satu hal yang bagi kami orang Indonesia terasa lucu, namun tidak bagi mereka. Begitu pula sebaliknya. Ada saatnya, ketika konteks sebuah lelucon itu kompleks, saya hanya mengartikan pada mereka dengan bahasa sederhana, “Orang ini mengatakan lelucon, mohon tertawa saja.”. Beberapa kali, ini berhasil, namun akhirnya hal ini harus ditinggalkan, karena tidak baik untuk perkembangan komunikasi kami.

Akhirnya, menjadi pekerja sosial sebetulnya adalah mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Layaknya seorang relawan kesehatan yang harus beres kesehatannya terlebih dahulu, seorang pekerja sosial jiwa sosialnya juga harus sehat terlebih dahulu. Itulah yang saya rasakan dalam menjalani seluruh kegiatan ini.

Penulis : Dominicus Suseno / Editor : Ariwan K Perdana

Tinggalkan komentar