Dari Sanggar Lare Mentes, Untuk Keutuhan Hidup Anak Indonesia

Dari Sanggar Lare Mentes,
Untuk Keutuhan Hidup Anak Indonesia

Ratusan anak berlarian dan bermain gembira. Mereka memainkan apa saja yang mereka suka. Berkumpul, berkelompok, dan bergerak sesuka hati. Mereka berdiri, bernyanyi, mengenalkan diri masing-masing. Mereka memainkan permainan tradisional, bermusik, dan berlarian sekenanya. Anak-anak terlihat riang. Keriangan mereka adalah keriangan khas anak-anak. Tidak peduli dari mana asal mereka, siapa mereka, saat berkumpul semuanya bergembira.

Anak-anak berumuran 7-17 tahun itu berkumpul dari berbagai daerah, Bantul, Sleman, Kulon Progo, Magelang, dan Klaten. Lima komunitas ini adalah Komunitas Anak Koper dari Kadirejo Klaten, Komunitas Anak Keningar, Magelang, Komunitas Anak Gunung Kelir, Kulon Progo, Komunitas Anak Ngablak, Piyungan Bantul, dan Komunitas Anak Duwet Sleman. Mereka berkumpul dalam acara Cross Visit: Belajar dari Lare Mentes, Klaten, minggu (30/11). Lebih dari 100 orang anak dan pendamping masing-masing, turut dalam kegiatan ini.

Dari dalam sebuah rumah joglo, yang dinding-dindingnya tersusun dari pintu-pintu kayu, anak-anak berkumpul menyaksikan tayangan permainan anak-anak komunitas Lare Mentes, menyaksikan permainan jimbe. Dari raut muka, anak-anak nampak antusias mengikuti kunjungan ini. Dan Itulah dunia anak-anak. Dunia bermain dan bergembira. Dari bermain mereka belajar.

“Di sini kami mengajak anak-anak untuk belajar, bermain dan berekspresi sebagaimana layaknya dunia anak-anak. Agar anak-anak ditempat lain uga bisa meniru cara tumbuh dari anak-anak lare mentes” kata Nining D. Seyoningsih (44), pendamping dari Komunitas Anak Duwet Sleman.

Komunitas-komunitas anak ini merupakan sedikit dan sekian banyak komunitas anak di Indonesia, yang mau menghidupkan dolanan bocah, permainan-permainan tradisional, dan tidak tergantung permainan modern. “Kita berharap mampu mengolah permainan yang tidak datang dar luar. Dan mencoba mengurangi permainan-permainan seperti Play station, atau yang lainnya” lanjut Nining. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak ini tidak telepas dari upaya untuk membangkitkan kearifan desa yang dijabarkan melalui dolanan bocah.

“Menyenangkan bisa bermain bersama teman-teman dari daerah lain. Senang sekali. Mereka keren sudah bisa bertahan hingga 8 tahun” ujar Ruri Putri Triswanto (16), dari komunitas Koper (Komunitas Penggerak RW 4), Kadirejo, Klaten. Ruri juga berharap ini bisa dilakukan terus. “Semoga tidak bosen saja,” katanya.

Harapan yang sama di lontarkan oleh Saladin Wijayakusuma, Koordinator Cross Visit Studi. Saladin mengatakan, sanggar anak menjadi tempat berbagi, berekspresi, dan belajar. “Tujuannya adalah menumbuhkan keutuhan hidup anak,” ujarnya. Lebih jauh, Saladin, menyampaikan, kegiatan ini merupakan upaya untuk mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Agar anak-anak saling mengenal berbagai tempat, dan hidup mereka tidak tertutup hanya di lingkungan komunitas mereka masing-masing, sekolah masing-masing.

“Anak-anak harus memperoleh hak-haknya sebagai anak. Dengan kunjungan antar komunitas anak ini, semoga mereka terispirasi untuk tetap tumbuh dengan cara yang lebih baik. Selanjutnya, kata Saladin, anak-anak bisa berkumpul dalam komunitas, untuk kemerdekaan anak. Hak-hak anak untuk belajar dan bermain, bermain dan berkespresi, berekspresi dan bergembira, harus dipenuhi. Dengan cara itulah kemerdekaan sebagai anak dapat tercapai. Anak sudah semestinya dirangsang untuk tetap tumbuh dalam dunianya sendiri, termasuk mengasak rasa ingin tahu dan rasa penasaran mereka.

Lare Mentes

Komunitas Anak Laree Mentes, terbentuk sebagai respon tanggap darurat gempa. Keprihatinan terhadap kondisi anak-anak saat menghadapi gempa bumi yang meluluh-lantakkan Yogya dan Klaten, Mei 2006 silam. Respon untuk membentuk komunitas Lare Mentes ini tidak terlepas dari Sanggar Anak Akar Jakarta yang berkunjung ke Towangsan untuk memberikan bantuan sembako. Melihat bantuan sembako dirasa mencukupi,melalui Ibe Karyanto dan Soesilo Adinegoro dari Sanggar Anak Akar Jakarta, untuk membantu mendampingi anak-anak dengan cara memulihkan kondisi trauma pasca gempa. Dari sanalah Lare Mentes bermula.

Komunitas Anak Lare Mentes dijadikan wadah untuk pendidikan alternatif bagi anak-anak di Desa Towangsan, Gantiwarno, Klaten. Nama komunitas sekaligus menjadi tujuan dari berdirinya. Lare Mentes bersal dari bahasa jawa yang artinya anak-anak berisi atau berbuah, menjadi anak-anak yang berkualitas.

Aktivitas keseharian anak-anak di Desa Towangsan, tidak lepas dari sanggar, tempat komunitas ini berkegiatan. Rumah Joglo berdinding pintu-pintu dari kayu, dengan sebuah jembatan kecil untuk kolam-kolam di depan rumah, menjadi rumah kedua bagi mereka. Setiap sore, puluhan anak singgah untuk bermain,belajar besama, dan bermusik. Bermain tepuk tangan,memainkan ketukan dan ritme, hingga bermain gitar dan jimbe. Bagi mereka musik adalah pintu belajar yang menarik.

Mereka menjadi kelompok seni anak yang mampu mengolah kreatifitas dalam bidang seni. Kreatifitas itu mereka tunjukkan dalam pentas tahunan untuk merayakan ulang tahun komunitas. Pada acara puncak perayaan kami menggelar pertunjukan Langgam Suara Ndeso, sebuah pentas perpaduan antara gerak teatrikal dan music khas Lare Mentes.
Dari kegigihan itulah kini Lare Mentes menjadi salah satu tempat belajar bagi komunitas-komunitas anak lainnya, dari berbagai daerah. Sebuah usaha keluar dari ketergantungan permainan anak yang berasal dari luar mereka. Di laman media sosial facebook Sanggar Lare Mentes, tertulis dengan jelas “Sanggar Lare Mentes, memberanikan diri untuk mewujudkan sebuah gagasan model pendidikan integratif untuk anak-anak desa.”

Dunia anak adalah dunia imajinasi. Dunia bermain, dan kegembiraan. Dunia yang penuh warna, dengan bahasa yang berbeda dari bahasa orang dewasa. Dunia anak adalah dunia yang diselimuti banyak pertanyaan filosofis, yang justru tidak mereka sadari. Oleh karena itu, tidak salah jika Novelis kaliber Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie, mengatakan anak-anak adalah filsuf.

Anak-anak selalu melemparkan pertanyaan yang berawal dari rasa terpukau terhadap dunia dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir. Bahkan bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa berpikir. “Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga rasa penasaran itu” kata Gaarder.

Ditulis oleh: Ryan Sugiarto

Tinggalkan komentar